Pages

Saturday, March 31, 2012

*sambungan dari ....
BAB I
SEKILAS SEJARAH KELUARGA KAROLUS WIRYOGUNO



C.     Hutan Dagangan dan Hutan Keracil

1.      Membuka Hutan Tahap I

Untuk membuka hutan yang sangat luas, tidak bisa dilakukan dengan menebang pohon sendiri-sendiri tanpa perencanaan dan kerjasama. Oleh karena itu Karolus Wiryoguno berunding dengan Ditoruno. Pembukaan hutan Kracil dimulai dari sebelah utara rumah Ditotruno dan seberang barat sungai Jiken untuk pemondokan dulu selanjutnya untuk lahan sawah. Gubug-gubug dibuat dari kayu hutan, atap dari pohon rotan. Setelah 10 hari lamanya gubug-gubug ini jadi, rombongan ini pamit untuk pindah ke tempat yang baru. Selanjutnya Karolus melontarkan ide kepada Ditotruno bahwa dukuhan yang baru dibuka ini dinamakan MOJOWARNO
 Kata “MOJO” diambil dari kata Mojopahit karena hutan Kracil dahulu masuk wilayah Mojopahit. Adapun “WARNO” karena penghuninya berasal dari berbagai daerah, berlatar belakang sosial dan budaya yang berbeda-beda (jw. warno-warno). Dalam pembicaraan ini Ditotruno menyepakati, bahkan dukuhan Dagangan yang ditempati inipun disatukan menjadi menjadi satu dengan Mojowarno. ( manuskrip: , Babad Alas keracil,  Musa Jebus 1900 : diterjemahkan Pdt. Muljodihardjo 25 Nop 1974 ).
Selanjutnya Ditotruno melanjutkan membuka hutan barat sungai di sebelah Selatan, yang disebut “Mojowarno awal”. Sedang Karolus Wiryoguno selanjutnya membuka sebelah barat sungai di sebelah Utara, yang disebut “Mojowangi awal”. Jadi Mojowarno awal dan Mojowangi awal lahir hampir bersamaan.
Rencana selanjutnya, mereka membuka hutan di sebelah Timur sungai Jiken. Meneruskan Mojowarno awal dan Mojowangi awal. Tidak lama kemudian datanglah rombongan Eliasar Pa Kunto ( guru dalang Karolus Wiryoguno ) dari Karungan, Sidoarjo sebanyak 15 orang. Kedatangan mereka ditampung oleh Karolus Wiryoguno. Maka Eliasar Pa Kunto dipersilahkan membuka hutan sebelah Timur sungai Jiken meneruskan pembukaan Mojowangi awal. Selanjutnya Karolus Wiryoguno mengembangkan tempat baru, di sebelah Utara Mojowangi, yang bernama Mojoroto.
Dalam pengembangan baik Ditotruno maupun Eliasar Pa Kunto merasa tidak mampu melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu mereka sepakat bergabung, hanya membuka lahan Mojowarno saja.  Atas usul Karolus Wiryoguno mereka dianjurkan pulang ke daerah masing – masing, mengajak sanak saudaranya untuk membantu. Ditotruno pulang ke Gunung Kendeng, Lamongan, sedang Eliasar Pa Kunto pulang ke Karungan, Sidoarjo. Mereka kembali dengan rombongan sanak familinya yang siap membantu membuka hutan.
Begitulah pada akhirnya tiga desa berdiri dan selesai bersama – sama. Mojowarno dengan pimpinannya Ditotruno, Mojowangi dengan pimpinannya Eliasar Pa Kunto dan Mojoroto dengan pimpinannya Karolus Wiryoguno.

a.   Proyek Jalan Besar, Bendungan dan Saluran Irigasi  

Setelah tiga buah desa (tempat pemukiman) sudah berdiri, Mojowarno, Mojowangi dan Mojoroto. Mereka secara gotong royong, membangun sarana pedesaan agraris. Yaitu membangun jalan raya yang menghubungkan Ngoro – Wirosobo (Mojoagung). Pelaksanaannya dibantu oleh rakyat Mojoagung membuat jalan arah Utara – Selatan, bertemu di desa Selorejo-Cathak Gayam ( yang sekarang menjadi desa Mojodadi ).
Selanjutnya untuk pengairan, mereka membendung sungai Jiken (sekarang terletak di desa Mojanyar-Mojotengah). Pelaksanaannya hampir gagal, sehingga terpaksa minta bantuan Wedana Mojoagung yang mendatangkan para ahlinya. Sehingga terpaksa Wedana turun langsung menunggui pelaksanaannya. Setelah bendungan dapat teratasi, dibuatlah saluran irigasi untuk mengairi sawah desa Mojowarno, Mojowangi dan Mojoroto. Saluran irigasi tersebut disebut “Wangan Tengah”( Saluran Air Tengah ), yaitu saluran yang diapit oleh dua buah sungai besar.


b.  Peresmian 3 Desa oleh Pemerintah Belanda (1850)

Sesuai dengan janji Karolus Wiryoguno kepada residen surabaya, apabila desa yang dibangun selesai, harus segera melaporkan kepada gubernemen (pemerintah) untuk diresmikan. Oleh karena itu setelah 3 buah desa selesai didirikan, sarana jalan, bendungan dan saluran irigasinya sudah selesai, kendati lahan pertanian belum selesai. Dianggap cukup untuk dilaporkan. Pertama – tama dilaporkan ke wedana Wirosobo (sekarang Mojoagung). Sebelumnya ditinjau lebih dahulu, hal – hal yang kurang layak diperbaiki. Baru dilaporkan ke Asisten Residen Japan( sekarang Mojokerto ), yang kemudian diteruskan ke Residen di Surabaya. Tanggal ditetapkan, yang kemudian diinformasikan ke Japan, Wirosobo terus ke desa Mojowarno, Mojowangi dan Mojoroto.
Para pejabat pemerintahan saat itu datang dengan naik kuda. Adapun Karolus Wiryoguno dengan beberapa temannya menjemput di Wirosobo (Mojoagung). Setelah sampai di Mojoroto, maka diadakan upacara peresmian 3 buah desa dengan sarananya. Saat itu pula ditetapkan kepala desanya masing – masing. Ditotruno menjadi Kepada Desa Mojowarno, Eliasar Pa Kunto menjadi Kepala Desa Mojowangi dan Karolus Wiryoguno menjadi Kepala Desa Mojoroto. Selain dari itu Karolus Wiryoguno diangkat sebagai BAU ARIS atau koordinator para kepala desa yang bertanggung jawab langsung kepada Wedana, karena pada saat itu belum ada Asisten Wedana.
Selanjutnya sampai dengan tahun 1874 Karolus Wiryoguno mengembangkan pembukaan hutan Keracil dari batas Bayem ke selatan sampai Ngares ( batas wilayah Japan / Mojokerto dan Kediri, pada saat itu ) menjadi 27 desa yaitu desa: Kayen, Mojotengah, Mojoanyar, Kedungpring,  Mojounggul,  Kuwik,  Sumberagung,  Mindi,  Jabaran,  Ngares,  Banyu Urip, Bulu, Plosorejo, Kedungsuruh, Sidowayah, Mundusewu, Murangagung, Tebel, Kupang, Kembang Tanjung,  Jlopo,  Larangan,  Jambangan,  Latsari, Mojosari, Kebonagung dan Sukobendu . Bersamaan dengan itu Karolus Wiryoguno memilih orang yang dinilai cakap untuk menjadi kepala desa seperti : Kyai Dipah / Gidyon di Kayen, Kyai Yerimiyah  di Tebel, Pak Enggal di Kupang, Kyai Singotruno di Mojotengah, pak  Bainah di Mojotengah, Kyai Singowono di Latsari, Pak Karsono di Sidowayah dan seterusnya.  



Perluasan pembukaan hutan selanjutnya dipimpin oleh puteranya yang bernama Musa Jebus Wiryosentono menjadi 35 desa ( tahun 1875-1899) sampai ke daerah Wonosalam / lereng gunung Anjasmoro seperti desa : Ndadi, Nglebak, Pulonasir, Jurangbang, Pulosari, Segitik, Ngrimbi dan Mutersari (sumber : Simsim Mestoko, 1900)

c. Lahirnya Desa: Mojojejer, Mojodukuh dan Mojokembang (1850 – 1852)

Orang – orang Sidokare ( Sidoarjo ) lain yaitu : Paulus Tosari dan istri Ledia Gadung, Yakobus Singotruno, Pak Tega alias Simon Suryo, Pak Kariman alias Dasiyo Yirmiyah, Pak Sampira alias Timotius, Yusibah Dariyah, Wuryan Agustina, Pono Gidion, Kabi Naomi, Midah Martah, Bone istri Dasiyo, Menase suami Dariyah, Ledius suami Wuryan. Setelah menerima baptisan pada tanggal 25 September 1844 di Surabaya ditampung di persil W. GUNSCH di Sidokare, Sidoarjo.
Pada tahun 1850 mereka sepakat meninggalkan Sidokare dan bergabung dengan teman satu pemuridan yaitu Karolus Wiryoguno bersaudara. Mereka diterima oleh Karolus Wiryoguno. Kepada mereka dipersilahkan membuka hutan sebelah Utara Mojoroto. Mereka membuka hutan selama 2 tahun (1850 – 1851). Setelah menjadi desa, diberi nama MOJOJEJER. Kemudian diadakan pemilihan Kepala Desa, yang terpilih yaitu: Silfanus Mangunwedono, suami Elisabeth, menantu Kabi Naomi.
Selain itu beberapa kerabat Karolus Wiryoguno yang lain melakukan pembukaan hutan sebelah barat desa Mojowangi dan akhirnya menjadi desa Mojodukuh yang dipimpin oleh Arteman ( suami Paulinah/ adik Karolus) dan Mojokembang dipimpin oleh Gisek Simson. Warga dari enam desa inilah yang menjadi warga awal jemaat Mojowarno / induk  jemaat yang juga disebut jemaat kolonisasi.

sumber: sama seperti pada BAB I bagian A 

No comments:

Post a Comment